Jakarta, Kirani – Tiga hari menjelang tahun 2023, Kamis (29/12) di Kedai TEMPO atau Komunitas Utan Kayu, Jakarta, di sebuah sore yang sejuk dan adem, tampak ramai dan antusias para undangan menyaksikan acara peluncuran buku “Membaca Goenawan Mohamad”. Buku yang diluncurkan oleh Komunitas Utan Kayu ini menyajikan sejumlah gagasan dari para tokoh mengenai kiprah GM, sapaan Goenawan Mohamad, di dunia kesusasteraan, pemikiran dan demokrasi. Peluncuran buku ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun ke-80 tahun sosok sastrawan kondang di Indonesia.
Ayu Utami, penyunting buku ini mengatakan “Membaca Goenawan Mohamad” merupakan salah satu bentuk mencintai karya-karya pendiri Majalah Tempo itu dengan pembacaaan secara kritis.
Dalam buku ini ada 16 penulis yang mengupas dan menelisik secara detail, mendalam serta komperhensif pemikiran GM, sapaan akrabnya, di seputar sastra, filsafat dan demokrasi di Indonesia.
Sebelumnya, perspektif dan paparan keenam belas penulis adalah hasil dari seminar yang diselenggarakan Salihara dan Komunitas Utan Kayu pada 25-27 Maret lalu. Menurut Ayu, dia bersama teman-temannya dari Komunitas Utan Kayu ini melakukan pembacaan yang serius dan kritis terhadap pemikiran GM.
Penulis buku Saman, Bilangan Fu dan Anatomi Rasa ini mengatakan, “Mas Goen (Goenawan) merupakan sosok yang sangat hebat, sayangnya karya-karya yang luar biasa itu masih kurang dibaca dengan kritis. Saya enggak tahu kenapa sedikit yang membahas bahkan mengkaji novel-novel Mas Goen yang bagus ini. Mungkin karena banyak orang memandang Mas Goen sudah seperti ini,” kata Ayu.
Wanita yang sudah mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri untuk karya sastranya seperti Prince Award pada tahun 2000, Khatulistiwa Award pada tahun 2008 dan penghargaan Ahmad Bakrie pada 2018 ini menegaskan buku Membaca Goenawan Mohamad isinya bukan sebatas sebuah ritual puja-puji terhadap sosoknya.
“Yang utama buku ini sesungguhnya membaca pemikiran Goenawan Mohamad dalam sudut pandang kesusateraan, pemikiran dan demokrasi yang harapannya bisa melibatkan kalangan kaum muda menikmati pemikiran Mas Goen,” kata Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) ini.
Memang, dalam perjalanannya sebagai sastrawan sekaligus tokoh jurnalisme, Goenawan dikenal sebagai penulis esai yang diterbitkan rutin setiap pekan di Majalah Tempo, Catatan Pinggir yang kini telah dibukukan dalam 14 jilid. GM boleh dibilang sangat produktif menulis.
Bahkan yang terbaru, Goenawan juga telah menerbitkan sejumlah buku mengenai pemikiran seni seperti Estetika Hitam: Adorno, Seni, Emansipasi (2021) dan Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni 1961-2021.
Perjalanan Karier Goenawan Mohamad
Goenawan merupakan pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita TEMPO. Pada masa mudanya, Goenawan lebih dikenal sebagai penyair. Dan dia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis diberbagai media umum. GM mulai menulis sejak berusia 17 tahun dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Kecintaanya pada dunia seni dan sastra sejak kelas enam Sekolah Dasar yang sangat mencintai acara puisi siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Goenawan yang merupakan adik kandung Kartono Mohamad ini belajar Psikologi di Universitas Indonesia dan Ilmu Politik di Belgia. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Karier GM dimulai dari Redaktur Harian KAMI tahun 1969-1970, kemudian Redaktur Majalah Horison pada 1969-1974, lalu Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres tahun 1970-1971, Pemred Majalah Swa tahun 1985 dan tahun 1971, GM Bersama rekan-rekannya mendirikan Majlah Mingguan TEMPO.
GM juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam Bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo lakon Wisanggeni pada 1995. Kemudian tahun 2002 lakon Alap-lapan Surtikarti dengan Dalang Slamet Gundono, juga drama tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
Sore itu, GM bersukacita dalam peluncuran buku “Membaca Goenawan Mohamad” bisa bertemu dan berbincang santai dengan para sahabatnya. Sore itu, GM mengenakan baju hitam panjang yang bagian lengannya digulung dipadu celana bahan denim ringan warna gading. Tubuh, semangat dan cara bicaranya masih bugar, awas, tajam, jelas dan lugas, meski rambutnya sudah tampak berwarna perak tak bisa mengingkari termakan usia yang sudah mencapai delapan dekade. “Saya berterima kasih banyak sahabat yang datang di acara hari ini yang menjelang pergantian tahun. Syukur cuacanya enggak hujan,” kata GM bersahaja dan semringah.
Tokoh perfiliman Nasional, Slamet Rahardjo Djarot yang hadir di acara ini mengatakan, “Mas Goen hebat dan luar biasa dalam berkarya di bidang kesusasteraan, pemikiran dan demokrasi. Sebagai sahabat, saya ikut bahagia dan bangga,” kata abang kandung Eros Djarot ini.
Adapun para penulis yang menuangkan gagasannya perihal GM di buku ini, Setyo Wibowo, Dosen STF Driyarkara, Agus Sudibyo, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Luar Negeri Dewan Pers 2019-2022, Andy Budiman, pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman dan juga salah satu Ketua AJI 2006-2010, Ayu Utami, Direktur Literature and Ideas Festival, Bambang Sugiharto, Pengajar di Unpar, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan Gunung Djati, Donny Danardono, Pengajar di Program Studi Ilmu Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Fitzerald Kennedy Sitorus, Dosen ilmu filsafat di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Martin Suryajaya, Penulis asal Semarang yang mendapatkan beberapa penghargaan, Ni Made Purnama Sari, tim bidang program di Bentara Budaya, Nirwan Dewanto, Sastrawan, editor, dan kurator seni, Rizal Mallarangeng, pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Freedom Institute, Sri Indiyastutik, Direktur Fundraising di YAPPIKA-ActionAid, Triyanto Triwikromo, sastrawan dan dosen penulisan kreatif, Ulil Abshar-Abdalla, penulis dan pemikir muslim, Y. D. Anugrahbayu, penerjemah dan Yulius Tandyanto, penekun filsafat secara akademis.
Teks: Hadriani Pudjiarti | Foto: dok.Istimewa