Jakarta, Kirani – Seni ukir Asmat, hasil pahatan masyarakat adat di selatan Pulau Papua, telah mendapat pengakuan dunia. Setiap ukiran, yang ditatah dari kayu keras pilihan seperti kayu besi, kayu sagu, dan kayu bakau, menyimpan makna filosofis yang mendalam. Karya-karya mereka tidak hanya dipajang di museum-museum ternama di mancanegara, tetapi juga menjadi incaran kolektor seni dunia.
Namun ironisnya, di negeri asalnya sendiri, karya seni Asmat seringkali terpinggirkan. Tidak jarang patung-patung yang sarat makna ini dipandang sebelah mata, bahkan dianggap berhala atau pembawa roh-roh jahat. Karena itu, guna melestarikan dan mengangkat kembali nilai luhur budaya Asmat, Yayasan Widya Cahya Nusantara (YWCaN), Uma Nusantara, Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, serta Tirto Utomo Foundation, mempersembahkan pameran bertajuk Asamanam.
Bertempat di kantor Han Awal & Partners di Bintaro, Tangerang, pameran yang berlangsung hingga 16 September ini memamerkan puluhan karya seni Asmat berupa patung-patung, ukiran, tikar anyaman, dan tas-tas Noken serta berbagai foto dan video yang menunjukkan ritual dan aktivitas masyarakat adat.
Lebih dari sekadar pameran seni, Asamanam mengajak para pengunjung untuk menyelami filosofi hidup masyarakat Asmat yang berakar pada keseimbangan—sebuah konsep yang tercermin dalam keseharian mereka.
Meresapi Asamanam
“Ukiran Asmat begitu unik, beda dengan ukiran masyarakat adat lainnya,” kata Brunoto Suwandrei Arifin, Ketua YWCaN, dalam konferensi pers pada tanggal 7 September lalu. “Orang Asmat mengukir untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka, serta mengenang orang tua dan keluarga mereka.”
Asamanam berarti harmoni yang harus dijaga antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan leluhur mereka.
Filosofi ini digambarkan melalui simbol perahu panjang, yang menurut Brunoto, harus didayung sambil berdiri dengan tatapan sesekali ke belakang agar dapat melaju lurus ke depan—sebuah metafora tentang pentingnya belajar dari sejarah masa lalu dan menghormati leluhur untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sebagai bagian dari pameran, replika perahu beserta para pendayungnya juga dipajang di kolam halaman belakang kantor Han Awal & Partners. Di seberang kolam, berdiri sebuah prototipe Rumah Jew, yaitu rumah adat masyarakat Asmat yang dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu dan beratapkan daun nipah.
Rumah panjang ini tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya para tetua adat, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan budaya dan tradisi bagi para lelaki muda yang belum menikah.
Sebelum memasuki ruang pameran utama di lantai dua, pengunjung diajak untuk melewati instalasi yang dinamakan Lorong Kehidupan. Lorong ini didesain unik, dengan warna merah muda dan dinding-dinding bersekat yang membuat pengunjung harus sedikit merunduk saat melaluinya, menyerupai perjalanan simbolis ketika seorang bayi keluar dari tubuh ibunya.
Konsep ini mengingatkan pada awal kehidupan manusia, di mana kelahiran adalah titik penting dalam siklus kehidupan masyarakat Asmat.
Instalasi ini juga terinspirasi dari Jom Cem, sebuah rumah persalinan yang digunakan oleh sebagian masyarakat Asmat. Rumah ini bukan hanya tempat bagi ibu-ibu yang akan melahirkan, tetapi juga lokasi di mana anak yang baru lahir kemudian dibaptis dalam iman Katolik, mencerminkan akulturasi antara tradisi lokal dan keyakinan agama yang kini banyak dianut masyarakat Asmat.
Di ruang pamer utama, pengunjung disuguhkan berbagai patung unik hasil karya para pengrajin Asmat yang ahli dalam seni ukir.
Salah satu karya yang menarik perhatian adalah Patung Mama dan Anak, sebuah karya seni yang menggambarkan seorang ibu yang sedang menggendong bayinya. Karya ini memiliki sejarah tersendiri, karena pernah meraih hadiah utama dalam sebuah lomba ukir di Asmat tahun 1985, menegaskan kehalusan dan kedalaman rasa yang tercermin dalam tiap guratannya.
Selain itu, terdapat pula patung berjudul Engkau Bukan Dari Tulang Rusukku Tapi Dari Lenganku. Patung ini menggambarkan sosok perempuan muda yang terpancar keluar dari lengan seorang laki-laki, sebuah interpretasi visual dari mitologi kuno Asmat yang mengisahkan bahwa wanita pertama suku ini berasal dari sebuah “bisul besar” di lengan pria pertama Asmat.
Tidak hanya itu, pengunjung juga dapat melihat patung-patung yang menggambarkan kehidupan sehari-hari para lelaki Asmat, seperti kegiatan berburu, mencari ikan, dan proses pembuatan Tifa, alat musik tradisional yang memiliki peran penting dalam upacara adat dan keseharian mereka.
Semua karya ini tidak hanya menjadi pameran visual semata, tetapi juga membawa pengunjung lebih dekat ke dalam dunia dan filosofi hidup masyarakat Asmat.
Rencana Revitalisasi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat
Seiring dengan upaya pelestarian budaya melalui pameran Asamanam, sebuah langkah yang lebih besar sedang dipersiapkan di Agats, Papua. Yayasan Widya Cahya Nusantara, Uma Nusantara, dan Tirto Utomo Foundation kini memprakarsai revitalisasi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat yang berada di jantung tanah Asmat.
Museum ini dirancang bukan hanya sebagai ruang penyimpanan artefak, tetapi sebagai “Living Museum”—sebuah museum hidup yang akan menjadi pusat budaya yang dinamis dan berfungsi aktif mempertemukan masyarakat dari berbagai budaya dan latar belakang yang berbeda.
Yori Antar, arsitek Han Awal & Partners serta pendiri Uma Nusantara, menjelaskan bahwa proyek revitalisasi ini sedang berada dalam tahap visioning, yakni proses diskusi intensif dengan berbagai pihak, terutama masyarakat Asmat.
“Kami ingin memastikan bahwa museum ini nantinya akan mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai adat masyarakat Asmat,” kata Yori.
Lebih dari sekadar melihat pajangan, di museum ini pengunjung akan diajak berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat melalui kegiatan budaya seperti belajar ukiran, tarian, hingga ritual tradisional, menjadikan museum ini sebagai ruang untuk studi dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya sehari-hari masyarakat Asmat.
Bangunan utama museum telah berdiri di atas lahan seluas 60.000 meter persegi di Agats. Ke depan, lahan ini akan dikembangkan menjadi pusat riset budaya Asmat serta plaza terbuka untuk penyelenggaraan Festival Asmat, pertunjukan tari-tarian, dan lelang benda-benda seni yang diadakan secara rutin.
Ketua Lembaga Musyawarah Adat Asmat, David Jimanipits, memiliki harapan besar untuk museum ini.
“Kita harus menciptakan ruang di mana seni Asmat dapat tumbuh, tarian bisa ditampilkan, dan anak-anak Asmat bisa mempelajari budaya mereka sendiri. Museum ini harus menjadi bagian dari kehidupan kita,” ujarnya.
Di lantai dasar kantor Han Awal & Partners, pengunjung dapat melihat maket rencana revitalisasi museum ini, yang menampilkan konsep besar untuk masa depan budaya Asmat.
Brunoto Suwandrei Arifin, Ketua YWCaN, menekankan pentingnya eksistensi museum di Agats, bukan hanya untuk melestarikan budaya Asmat, tetapi juga sebagai sarana memperkenalkan seni dan budaya mereka ke seluruh dunia.
“Dengan adanya museum ini, kita bisa memperkenalkan seni Asmat ke dunia. Ini bukan hanya tentang pelestarian, tapi juga tentang menciptakan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Asmat,” tegas Brunoto.
Pameran Asamanam dan rencana revitalisasi museum ini menjadi bukti nyata bahwa budaya Asmat masih hidup dan tetap relevan di tengah arus modernitas. Lebih dari sekadar melihat artefak, pengunjung diajak terlibat dalam dialog budaya, meresapi filosofi mendalam yang diwariskan oleh masyarakat Asmat, dan menyadari bahwa kekayaan budaya ini adalah bagian penting dari identitas bangsa yang harus dijaga dan dihargai oleh setiap generasi.
Teks: Sylviana Hamdani | Foto: Courtesy of Asa Medier & Sylviana Hamdani