Jakarta, Kirani – Dunia dan Indonesia baru saja selesai menghadapi pandemi. Dan kini, adanya perubahan iklim atau krisis iklim diramalkan banyak pihak berdampak lebih luas dan signifikan bagi negara-negara di dunia dibandingkan dengan pandemi Covid-19. Merujuk penelitian yang di terbitkan oleh lembaga riset asal Swiss tahun 2021, perubahan iklim juga dapat memberikan kerugian yang besar bagi perekonomian dan kehidupan sosial.
Bahkan laporan terkini Save the Children “Generation Hope” tahun 2022 secara global memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia, atau sepertiga dari populasi anak di dunia, hidup dengan dampak ganda yaitu kemiskinan yang parah dan darurat iklim. Saat ini, tercatat Indonesia menempati peringkat kesembilan tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami ancaman ganda tersebut.
Berdasarkan penggalian data dan informasi yang didapat melalui survei dan dialog bersama 54 ribu anak dari 41 negara, termasuk di antaranya 20 ribu anak Indonesia, dijelaskan bahwa 59,8 persen anak merasakan perubahan iklim mempengaruhi lingkungan di sekitar mereka, kemudian 30,7 persen anak merasakan ketimpangan ekonomi yang mempengaruhi hak-hak dasar anak.
“Saya sudah putus sekolah sejak SMP, saya bekerja membantu bapak menanam cabai, tapi cuaca sekarang tidak menentu dan sering menyebabkan gagal panen. Jangankan untuk sekolah lagi, untuk makan sehari-hari aja saya cukup-cukupin,” cerita seorang anak petani di Jawa Barat yang berusia 17 tahun.
Laporan “Generation Hope” juga menunjukkan bahwa lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun. Fakta ini memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, sebab tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.
Di Kabupaten Donggala, seorang Bapak dengan tujuh anak, tinggal di pesisir pantai dan memiliki mata pencaharian sebagai seorang nelayan merasakan krisis iklim secara nyata. Hasil tangkapan ikan setiap hari semakin berkurang, bahkan lebih sering tidak mendapat hasil dan ini berdampak pada perekonomian keluarga, kesehatan, serta pendidikan ke-tujuh anaknya.
Krisis Iklim Berdampak Terhadap Hak Dasar Anak
“Krisis Iklim adalah krisis terhadap hak-hak anak. Anak-anak terancam menghadapi kemiskinan jangka panjang, dan sangat berdampak pada hak pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. Sekarang saatnya untuk melakukan aksi adaptasi dan mitigasi untuk memperbaiki keadaan dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di Indonesia dan seluruh dunia” tegas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication, Media & MarkComm Save the Children Indonesia.
Karena itu, Save the Children menegaskan bahwa apabila krisis iklim dan ketimpangan tidak segera ditangani, frekuensi dan tingkat keparahan krisis kemanusiaan serta biaya hidup akan terus meningkat.
Save The Children melakukan imbauan tentang beberapa langkah prioritas yang harus dilakukan oleh seluruh pihak, di antaranya adalah mengambil langkah aksi yang nyata dan ambisius untuk membatasi kenaikan suhu maksimal 1,5°C. Selanjutnya, menjalankan komitmen pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi yang berpihak pada anak.
Kemudian juga melibatkan anak-anak sebagai pemangku kepentingan yang setara dan agen perubahan utama dalam mengatasi krisis iklim dan lingkungan, termasuk membangun mekanisme dan platform yang ramah anak untuk memfasilitasi keterlibatan mereka dalam penyusunan kebijakan iklim oleh pemerintah.
Save the Children di Indonesia terdaftar dengan nama entitas Yayasan Save the Children Indonesia berdasarkan SK Kemenkumham No. AHU-0001042.AH.01.05 Tahun 2021. Save the Children Indonesia merupakan bagian dari gerakan global Save the Children Internasional yang bekerja memperjuangkan hak-hak anak di lebih dari 120 negara di dunia. Di Indonesia, misi Save the Children dilakukan sejak tahun 1976.
Saat ini, Save the Children beroperasi di 10 provinsi, 79 kabupaten, 701 kecamatan dan 918 desa. Program kami berfokus pada kesejahteraan anak yang mengintegrasikan lintas sektor termasuk pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, kemiskinan dan tata kelola hak anak, serta respon situasi bencana.
Teks: Hadriani Pudjiarti | Foto: Dok.Istimewa