Jakarta, Kirani – “Nah, sekarang kau murid sekolah ini.”
Itu kata-kata yang diucapkan Mr. Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe Gakuen setelah mendengarkan Toto-chan bercerita selama empat jam penuh. Toto-Chan, siswa kelas 1 SD yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal hanya karena ia sulit untuk duduk tenang di kursinya, detik itu juga langsung jatuh cinta kepada sekolah baru berikut kepala sekolahnya.
Sekolah yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi di Tokyo pada tahun 1937 itu memang berbeda. Di sekolah yang terdiri atas gerbong-gerbong tak terpakai itu, jam pelajaran terasa begitu menyenangkan. Setiap anak diberi kesempatan untuk mempelajari materi pelajaran yang paling mereka minati, serta mengekspresikan diri sesuai kemampuan masing-masing. Tak jarang anak-anak diajak berjalan-jalan ke beberapa tempat yang tidak terlalu jauh dari sekolah, seperti kuil, sawah, atau sekedar berenang di kolam renang sekolah. Bagi anak-anak setiap hari adalah bermain. Sementara bagi para guru, dengan mengenal minat masing-masing murid, membimbing mereka pun menjadi lebih mudah.
Sayang, perang menghancurkan semua. Pada tahun 1945 Sekolah Tomoe Gakuen terbakar habis, menghabiskan juga impian Kobayashi yang selalu berusaha menemukan dan mengembangkan watak baik pada setiap anak. Namun, perjuangan Sosaku Kobayashi yang tak selesai itu tak terbuang percuma. “Kau itu anak yang benar-benar baik, kau tahu itu, kan?”Kata-kata yang selalu diucapkannya kepada Toto-chan ini menguatkan gadis cilik itu untuk tumbuh besar menjadi orang baik dan berguna. Entah apa jadinya bila Toto-chan tetap bersekolah di sekolah yang melabelinya “anak nakal” dan tak berusaha untuk mengerti bahwa setiap anak dilahirkan berbeda.
Membaca buku “Toto-chan Gadis Cilik di Jendela” yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, nama lengkap Toto-chan, membawa kita untuk berkaca pada sistem pendidikan di Indonesia. Seperti kita ketahui, metode pengajaran di Indonesia pun menuntut semua anak untuk menjadi “normal”. Karenanya, bagi orang tua yang memiliki anak yang berbeda dari anak normal pada umumnya, diperlukan upaya ekstra keras yang tak jarang membuat putus asa dalam memberi pembekalan terhadap sang buah hati.
Kurangnya pengertian dari lingkungan sekolah dan masyarakat, kerap membuat para orangtua ini merasa sendiri. Keluarga, masyarakat sekitar, bahkan para guru kadang terlalu cepat melabeli anak yang berbeda dan sulit mematuhi orang dewasa sebagai “anak nakal”. Padahal, yang anak-anak ini butuhkan hanyalah pengertian dan pendekatan yang berbeda, untuk membuat mereka mengerti mengenai hidup serta segala hal yang diajarkan di sekolah. Mereka mungkin memiliki kelemahan di satu sisi, tetapi di sisi lain mereka memiliki kelebihan luar biasa yang biasanya baru ditemukan setelah orangtua dan keluarga memahami kondisi anak.
Sekolah Alam
Beberapa tahun belakangan, mulai berdiri beberapa sekolah alam di Indonesia. Sekolah yang bukan hanya menekankan pada proses pembelajaran satu arah di dalam kelas, tetapi mengajak para murid untuk lebih aktif mengeksplor alam dan lingkungan sekitar, bukan sekedar mempelajarinya melalui buku panduan. Sebuah alternatif dalam dunia pendidikan yang cukup menggembirakan bagi para orangtua.
Benarkah sekolah alam yang kini banyak berkembang merupakan jawaban bagi para orang tua pemilik anak-anak spesial? Metode yang mengutamakan ketertarikan anak sehingga mereka bebas bereksplorasi dan bukan sekedar menghafal, memang menjawab keingintahuan yang besar pada anak-anak. Daripada mengenal hewan atau tumbuhan melalui gambar, anak diajak untuk bercocok tanam dan beternak, hingga paham betul bentuk dan pertumbuhan dari setiap hewan dan tumbuhan itu sendiri. Dengan demikian kecerdasan anak pun berkembang secara natural.
Seperti yang diterapkan di Tomoe Gakuen, metode sekolah alam ini tentu saja menguntungkan bagi beberapa anak yang memiliki energi berlebih dan sulit untuk duduk tenang. Namun, apakah sekolah ini juga menjadi jawaban bagi anak dengan kondisi yang lain? Masih belum dapat dipastikan.
Sekolah Inklusi
Salah satu kekurangan sekolah alam adalah, biaya yang relatif lebih mahal. Dapat dimaklumi mengingat biaya yang dikeluarkan untuk observasi alam memang cenderung lebih besar daripada menerangkan di kelas. Permasalahannya adalah, tidak semua anak ‘spesial’ terlahir dalam keluarga kaya. Sehingga tak semua orang tua mampu menyekolahkan anak tercintanya ke sekolah dengan biaya tinggi tersebut.
Sekolah Inklusi mungkin dapat menjadi jawaban bagi orang tua dengan kondisi ini. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan, Pemerintah Indonesia pun lalu mendirikan sekolah-sekolah inklusi. Sekolah ini merupakan sekolah regular yang menyediakan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus. Di sekolah ini anak-anak spesial tersebut mengikuti pelajaran seperti biasa selama memungkinkan. Namun, ketika mereka mengalami kesulitan dalam mencerna pelajaran akibat perbedaan yang mereka miliki, tersedia guru pembimbing khusus yang akan menarik mereka keluar dari kelas, dan mengajarkan mereka dengan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak.
Prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Jadi disini setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya maupun anggota masyarakat lain sehingga kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Meski mungkin belum maksimal, namun setidaknya sudah ada perhatian dari pemerintah Indonesia terhadap anak-anak ‘spesial’ ini dan diharapkan untuk kedepannya tak ada lagi anak yang mendapat label ‘nakal’ hanya karena mereka berbeda dengan anak lain dalam menerima perintah dari orang dewasa.
Teks : Tya Handayani
Foto : Dok.Istimewa