Jakarta, Kirani – Siapa tak kenal Garin Nugroho? Sutradara yang juga dapat disebut maestro seni ini sempat menggebrak dunia perfilman Indonesia dengan karyanya Cinta Dalam Sepotong Roti pada 1990. Setelah itu, ia tak pernah berhenti melahirkan karya-karya apik yang terkadang kontroversial. Seperti karyanya di tahun 2019, Kucumbu Tubuh Indahmu yang bukan hanya sukses, tetapi juga menuai protes dari sebagian orang yang kurang mengerti.
Dan kini, mengawali tahun 2020, Garin kembali membuat gebrakan dan menyambut dekade yang baru dengan karyanya Planet Sebuah Lament. Sebuah pertunjukan yang mengangkat keindahan budaya Indonesia Timur (Melanesia), digelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada 17-18 Januari 2020, dan didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation.
Pementasan yang dilakukan di Jakarta ini merupakan pertunjukan perdana (world premiere) sebelum dipentaskan di berbagai negara. Karya ini akan menjadi karya pembuka dalam ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of Performing Arts) pada Februari 2020 mendatang di Melbourne, Australia. Karya terbaru yang merupakan hasil tim kerja dari berbagai negara yang disusun oleh Arts Centre Melbourne untuk Asia TOPA 2020 ini juga dijadwalkan akan dipentaskan di Dusseldorf, Jerman dan Amsterdam, Belanda.
“Garin Nugroho selalu menyajikan pemikiran dan sudut pandang yang unik dalam kreativitas karyanya. Tak jarang ia juga menyisipkan pesan-pesan kemanusiaan untuk menjadi bahan renungan. Dalam pementasan Planet Sebuah Lament ini, Garin Nugroho menyuarakan pesan perdamaian dan mengajak kita melihat alam yang semakin rentan oleh pengrusakan. Perpaduan budaya Indonesia Timur (Melanesia) yang ditampilkan dalam gerak tubuh, musik, dan vokal juga menjadi sebuah diplomasi kebudayaan untuk memperkenalkan kekayaan Indonesia ke panggung-panggung internasional,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Planet Sebuah Lament merupakan sebuah ratapan alam karena keserakahan manusia. Naskah yang dituliskan oleh Michael Kantor, sutradara teater dan opera kenamaan Melbourne ini mengangkat isu lingkungan hidup. Perubahan iklim menjadikan banyaknya bencana alam di dunia dan Indonesia, dan membuat manusia mencari keselamatan untuk menemukan pangan dan energi yang diperebutkan terus menerus. Planet Sebuah Lament merupakan sebuah renungan lewat lagu, ekpresi dan tari yang berkisah pasca tsunami, ketika manusia hanya disisakan sebuah telur sebagai simbol pangan dan energi. Sementara, plastik dan benda rongsokan tak terurai menjelma menjadi monster yang memburu energi. Sebuah pertarungan upaya keselamatan dan kebinatangan di tengah berbagai bencana alam di bumi.
“Saya tertarik dengan lament (lagu ratapan) ini sejak 7 tahun yang lalu karena sesungguhnya lament menjadi ratapan sejarah purba dunia, baik ratapan hilangnya kota-kota dan rusaknya peradaban karena perang atau bencana alam. Perjalanan Planet Sebuah Lament terasa dipenuhi oleh peristiwa yang tidak terduga, antara lain tsunami Aceh, konflik berdarah di beberapa sudut negeri, kebakaran hutan di Riau, hingga peristiwa Paskah di Pulau Procida, Italia hingga Larantuka. Bagi saya, semua itu adalah jalan lament, sebuah kisah mengalami kepedihan kemanusiaan untuk menemukan jalan cinta dan kebangkitan yang harus dihidupkan ketika dunia begitu keras dan vulgar,” papar Garin Nugroho.
Pertunjukan yang menggabungkan teater, film, dance, dan lagu ini mengusung perpaduan budaya dari Indonesia Timur (Melanesia) yang begitu kaya akan tari dan lagu serta tema lingkungan. Mengambil referensi tablo jalan salib yang ada di Larantuka, Flores Timur, Garin Nugroho menarasikan setiap babak melalui paduan suara dan lagu-lagu ratapan pada transisinya.
“Sebagai konsep visual, saya memasukkan unsur empat film pendek, masing-masing 3-5 menit. Empat film pendek ini juga berfungsi sebagai ruang dan waktu, simbolisasi jalan salib dan representasi bumi atau planet. Ini merupakan sebuah lament menemukan planet keselamatan,” tambah Garin Nugroho.
Koreografi direpresentasikan kolektif secara apik dan naratif oleh Joy Alpuerto Ritter, Otniel Tasman dan Boogie Papeda yang mengombinasikan elemen pergerakan tubuh dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Papua dengan gerakan-gerakan kontemporer baik personal maupun pada seluruh rangkaian acara. Pertunjukan ini juga menampilkan para penari dari berbagai daerah, antara lain: Boogie Papeda, Douglas D’Krumpers, Pricillia EM Rumbiak dan Bekham Dwaa dari Papua, Rianto dari Solo, dan Galabby dari Jakarta.
“Garin Nugroho selalu menampilkan wajah-wajah baru, dan pementasan Planet Sebuah Lament ini juga menampilkan talenta-talenta generasi muda yang potensial, dan beberapa diantaranya merupakan peserta program Ruang Kreatif Seni Pertunjukan yang merupakan kerjasama Garin Workshop dan Galeri Indonesia Kaya untuk mencari seniman muda dan komunitas seni dengan ide, gagasan, karya seni yang bagus dan menginspirasi,” tambah Renitasari.
Teks : Setia Bekti | Foto : Dok. Image Dynamics