Jakarta, Kirani – Suka atau tidak suka, harus diakui bullying masih terjadi di sekitar kita. Masih banyak anak yang harus mengalami ini di sekolah bahkan di lingkungan sekitar rumah. Bullying adalah bentuk intimidasi atau penindasan dari satu individu atau kelompok yang lebih kuat kepada yang lebih lemah.
Berbeda dengan konflik atau pertengkaran, pada bullying memperlihatkan adanya pengulangan dan kekuatan yang tidak seimbang antar kedua belah pihak yang terlibat.
Dalam bullying, ada niat untuk menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan bagi korban, secara fisik maupun emosional. Bentuk penindasan ini sangat beragam, mulai dari menendang, menampar, tawuran, menjambak, memukul, membentak, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, menghujat, mencibir, mengisolasi, hingga tindakan yang bernada pelecehan seksual.
Gangguan Kesehatan Pada Korban Bullying
Seolah tidak cukup penderitaan mereka, anak-anak korban bullying ini juga harus menerima dampak dari penindasan yang dilakukan kepada mereka. Ketika seseorang merasa takut dan stres dengan ancaman secara terus menerus, respon fight or flight mereka akan bekerja. Hal ini menyebabkan otot-otot menegang, jantung berdebar kencang, dan tubuh melepaskan adrenalin dan kortisol. Seiring waktu, reaksi ini akan melemahkan sistem kekebalan tubuh dan pada akhirnya menyebabkan hadirnya berbagai masalah kesehatan. Beberapa diantaranya adalah, kecemasan (anxiety), depresi, sakit punggung, sakit perut, cedera fisik, pusing dan kepala berkunang-kunang, serta mudah marah.
Beresiko memicu gangguan jiwa
Selain berdampak pada kesehatan fisik, anak-anak dan remaja korban bullying beresiko tinggi untuk mengalami gangguan kejiwaan dan membutuhkan penanganan intensif saat mereka dewasa nanti. Bukan hanya korban, pelaku pun ternyata memiliki resiko tersebut, meski skalanya jauh lebih kecil. Ada beberapa dugaan bahwa penindasan bullying adalah bentuk dari “stres beracun” yang memiliki dampak pada respon fisiologis terhadap kesulitan yang dialami oleh anak, yang kemudian bisa bermanifestasi pada masalah fisik dan mental yang berlanjut di usia dewasa.
Stop Bullying!
Beberapa orang tua dan guru terkadang mengabaikan gejala seperti sakit perut maupun sakit kepala. Mereka bahkan menganggap anaknya hanya berpura-pura demi menghindari pergi ke sekolah atau berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Setelah membaca pemaparan di atas, para orang tua diharapkan memberikan perhatian lebih kepada anak-anak mereka yang mengalami gejala tersebut.
Tanyakan baik-baik kepada anak untuk mengetahui apakah mereka sedang ditindas ke sekolah, ajak mereka membicarakan pengalaman di sekolah atau di tempat main. Jadilah teman bagi mereka agar anak mau terbuka mengenai apa yang mereka alami. Tak jarang karena takut, anak-anak korban bullying menyembunyikan penderitaan mereka dari orangtua.
Mulai sekarang, mari kita tinggalkan persepsi bahwa bullying tidak berbahaya. Intimidasi dan penindasan atau penganiayaan harus kita anggap sebagai bentuk lain dari stress beracun yang efeknya memiliki potensi besar pada kesehatan mental dan fisik seorang anak. Dan tentu saja berpengaruh besar pada pertumbuhan mentalnya.
Teks : Tya Handayani Foto : Dok. Istimewa