Jakarta, Kirani – Tenun bukan sekedar hasil karya jari jemari lincah, tapi juga ada sentuhan kehidupan yang melambangkan sang seniman.
Bagi Chandra Kirana, pendiri Sekar Kawung, perusahaan sosial bidang pemberdayaan penenun, orang-orang yang terlibat dalam pembuatan kain tenun bukanlah seorang pengrajin tapi merupakan seorang seniman. Dengan kecintaannya terhadap menenun, sang seniman menuangkan pengalamannya dengan melalui 42 langkah hingga menjadi tenun.
“Membuat kain tenun itu bagi saya, pengrajin atau orang yang membuat tenun merupakan seorang seniman. Disana seorang seniman yang membuat kain tenun tersebut menginterpretasikan dan menuangkan pengalamannya ke dalam kain. Ada 42 langkah dalam membuat kain tenun itu,” kata perempuan yang akrab disapa Kiki kepada Kirani di Hotel Morrisey pada akhir Januari lalu.
Melalui Sekar Kawung, perempuan yang telah malang melintang di dunia NGO mengembangkan tenun-tenun di Indonesia. Target mengangkat nasib para seniman tenun ini, membuat Chandra terus mencari dan berusaha mengembangkan potensi daerah. Sekar Kawung berupaya mengubah konsep diri para seniman kain tenun tersebut agar memiliki rasa bangga sebagai orang yang memiliki proses kreatif dan mandiri.
“Ketika mereka memiliki kebanggaan maka mereka dapat membawa diri ke masyarakat luas, maka karyanya juga akan beda dan lebih berharga. Ini salah satu cara untuk mengangkat nilai seni itu,” kata dia.
Tidak hanya memperhatikan nasib para seniman tenun, Chandra juga mempelajari simbol-simbol yang tergambar pada tenun. Selain itu, Chandra juga mempelajari pewarnaan alam yang memang digunakan para seniman tenun ini.
“Kami mempelajari makna setiap simbol, ketika memahami makna simbol maka kami dapat memahami pesan yang ada di dalam kain tersebut. Saya juga mempelajari tentang pewarnaan alam yang digunakan untuk tenun,” jelasnya.
Sekar Kawung memang konsisten menggunakan pewarna alam dan serat alami dalam pembuatan kain tenun, agar tidak menambah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pewarna sintetis. Bersama masyarakat untuk memulihkan landscapes dengan memastikan untuk menanam dan memanen dengan cermat, dan ketika bahan-bahan seperti benang perlu dibeli dari tempat lain, maka Sekar Kawung memastikan masyarakat dapat mengakses benang yang diproduksi secara bertanggung jawab.
Menjaga Keseimbangan Alam.
Tidak hanya tenun atau fashion yang dikembangkan Sekar Kawung bersama masyarakat, tapi juga berbagai makanan dan minuman, juga produk handicraft yang berbasis hutan hujan untuk dikirim ke konsumen. Membantu mereka menjaga sistem agro-hutan yang beragam dan berkembang, dan keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan. Banyak dari sistem wanatani asli ini memainkan peran yang sangat penting dalam melindungi hutan hujan yang tersisa, Kalimantan, Sumatra, dan ekosistem penting lainnya di Indonesia.
“Sekar Kawung merupakan perusahaan sosial yang bekerja sama dengan pengrajin lokal untuk menciptakan produk yang berkelanjutan bagi konsumen perkotaan kontemporer menggunakan pengetahuan budaya yang mendalam tentang cara menggunakan sumber daya alam dengan hati-hati,” urai wanita kelahiran Ngawi, 19 Mei 1963.
Alumnus psikologi UGM dan berharap mereka dapat membangun kemakmuran ekonomi mereka, dan terus menjaga warisan alam dan budaya mereka tetap hidup. Sekar Kawung mendukung dan berkolaborasi dengan masyarakat adat untuk terus melindungi keanekaragaman hayati di tanah mereka, sambil memelihara budaya untuk berkembang, melalui program pembangunan sosial ekonomi kreatif di desa mereka.
Tidak heran perempuan yang pernah menulis buku antara lain, Striking a Better Balance Vol. 1 The World Bank Group dan Extractive Industries (2003), A Vision From the South: How wealth degrades environment: Sustainabilityin the Netherlands (1993), Living With the Land (1993), Advokasi itu Komunikasi (2000), dan Asia View Articles Relating to Climate Changes diganjar penghargaan “Alumni Awards 2019” kategori Pelopor Pemberdayaan Daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan.
Teks : Galuh | Foto : Dok. Sekar Kawung