Mereka yang Menunggu di Banda Naira, Kisah Sejarah di Penghujung Tahun di YouTube Indonesia Kaya

Jakarta, Kirani – Banda Naira, namanya begitu cantik, namun salah satu pulau di Kepulauan Banda, Maluku ini menyimpan cerita sejarah yang tidak terlalu cantik, meski terselip kisah romantis di dalamnya.

Pada awal abad ke-20, pulau ini menjadi lokasi pembuangan para tahanan politik zaman Hindia Belanda. Tempat ini juga menjadi saksi bisu pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia yaitu Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Iwa Koesoema Soemanteri. Titimangsa Foundation dan Bakti Budaya Djarum Foundation pun mengangkat kisah para tokoh besar Republik Indonesia di tanah pembuangan Banda Naira ini, dalam lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira. Lakon yang kaya akan kisah sejarah tersebut dapat disaksikan di kanal YouTube IndonesiaKaya mulai Jumat, 17 Desember 2021 Pukul 19.00 WIB selama 6 bulan ke depan.

Lukman Sardi dan Tanta Ginting

Lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira ini merupakan dokumentasi pementasan pada 25 November 2021 yang lalu di Gedung Kesenian Jakarta. Lakon ini menjadi pementasan pertama selama pandemi yang diselenggarakan secara langsung di gedung seni pertunjukan oleh Titimangsa Foundation bersama Bakti Budaya Djarum Foundation, dengan jumlah penonton yang terbatas dan juga protokol kesehatan yang ketat.

Mereka yang Menunggu di Banda Naira menceritakan tentang pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia: Bung Syahrir, Bung Hatta, Bung Tjipto dan Bung Iwa, di tanah pembuangan Banda Naira. Tahun 1936, Sjahrir dan Hatta tiba di Banda Naira sebagai tahanan politik. Mereka bertemu dengan tahanan politik lainnya, Tjipto dan Iwa yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Meski berada dalam pengasingan, mereka meneruskan perjuangan di bidang sosial dan pendidikan. Kegiatan ini tidak disukai oleh penguasa setempat Hindia Belanda, Kloosterhuis, yang akhirnya memberlakukan pembatasan-pembatasan ruang gerak.

Reza Rahadian dan Julie Estelle

Sementara itu, di tengah perjuangannya, Sjahrir terus diliputi rasa gelisah karena terpisah dengan Maria, kekasih hatinya yang berada di Belanda. Surat-surat yang datang tak cukup memenuhi kerinduannya, Sjahrir ingin Maria ada di sisinya. Kenangan-kenangan indah bersama Maria senantiasa berkelebat dalam benak Sjahrir ketika ia sedang menyendiri, menunggu Maria datang ke Banda Naira.

Lakon yang berlangsung selama kurang lebih 120 menit ini diadaptasi dari sebuah novel karya Sergius Sutanto bertajuk “Bung Di Banda” yang diterbitkan oleh Gagas Media. Menarik perhatian Titimangsa Foundation untuk dipentaskan sebagai produksi ke-52, novel “Bung Di Banda” dialih wahanakan oleh almarhum Gunawan Maryanto sebagai naskah lakon pementasan yang kemudian ditafsir ulang oleh Wawan Sofwan untuk pertunjukan Mereka Yang Menunggu Di Banda Naira, agar dapat dinikmati dan diterima dengan baik oleh para penikmat seni yang menyaksikan secara langsung maupun dari rumah.

Reza Rahadian dan Akiva Sardi

Happy Salma selaku produser mengatakan,“Dalam pementasan ini, para penikmat seni dan para pemeran sama-sama berada di atas panggung. Bahkan para penikmat seni dapat melihat jelas setiap pergantian babak dan set, bagaimana kerja sama aktor dan kru terasa begitu dekat dan nyata. Pertunjukan ini bagi saya pribadi membuka banyak pikiran akan cita-cita kemerdekaan yang diucapkan oleh Bung Sjahrir, Bung Hatta, Bung Iwa Soemantri, dan Bung Cipto. Des alwi serta perempuan Belanda yang bernama Maria begitu menohok, terutama soal keragaman dan harga diri. Semoga penikmat seni yang akan menyaksikan lakon ini dari rumah secara virtual dapat merasakan energi yang sama dengan para penikmat seni yang melihatnya secara langsung.”

Disutradarai oleh Wawan Sofwan, pementasan ini melibatkan nama-nama yang berdedikasi di film dan teater, seperti Reza Rahadian sebagai  Sutan Sjahrir, Lukman Sardi sebagai dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Tanta Ginting  sebagai Mohammad Hatta, Verdi Solaiman sebagai Iwa Koesoema Soemanteri, dan Willem Bevers sebagai  Kloosterhuis. Turut bergabung juga aktris film yang baru pertama kali menjejakkan kaki di panggung teater, Julie Estelle sebagai Maria Duchtaeau dan aktor cilik pendatang baru, Akiva Sardi sebagai Des Alwi.

Teks: Setia Bekti | Foto: Dok. Indonesia Kaya