Jakarta, Kirani – Bungsu dari 8 bersaudara ini telah merasakan kegetiran hidup sejak ia lahir di kota Solo, Jawa Tengah. Sang ayah yang merasa semakin berat menafkahi keluarga berniat menyerahkan bayi mungilnya pada seorang pengayuh becak.
Beruntung sang ibu tak rela dan bertekad merawat semua buah hati di tengah himpitan ekonomi. Ketika teman sebayanya asyik bermain, Akim Oei kecil lebih banyak menghabiskan waktu membantu orang tua. Sejak kelas 3 SD ia terbiasa membawa dagangan ke sekolah untuk dijual ke teman-teman. Kesedihan seakan tak mau menjauh dari masa kecilnya sebab ibu tercinta meninggal dunia saat Akim Oei lulus SD.
Salah satu kakak bersedia membiayai Akim Oei untuk melanjutkan sekolah. Sebagai balas budi, ia membantu merawat keponakan yang masih bayi. Setelah lulus SMA tahun 1984 ia merantau ke Jakarta seorang diri hingga akhirnya menikah.
“Pernikahan saya kandas, kemudian saya pergi membawa anak-anak (Tasya dan Vania) tanpa membawa harta benda kecuali pakaian, dua buah hati yang masih kecil dan peralatan sekolah,” kata Perempuan cantik kepada Kirani yang menemuinya.
Ibu dan anak tersebut tinggal berhimpitan di rumah kontrakan untuk memulai hidup dari nol lagi. Sebagai single parents, bukan hal mudah bagi Akim melewati tantangan yang sempat membuatnya putus asa dan ingin mengakhiri hidup. Walau sudah bekerja keras, pulang tengah malam sambil menangis ditengah guyuran hujan, ia merasa tak kunjung bisa memberi kehidupan yang layak untuk anak-anaknya.
Saat benar-benar terpuruk Akim Oei pergi ke gereja dan bertemu dengan seseorang yang tak dikenal. Orang itu berkhotbah menyampaikan satu ayat yang berbunyi ‘Apa yang tak pernah dilihat oleh mata, apa yang tak pernah didengar oleh telinga, apa yang tak pernah timbul dalam hati manusia, Tuhan akan berikan semua jika kita mengasihi Dia’.
Akim menangis mendengarnya sebab merasa ayat itu ditujukan untuknya. Lalu ia memperbaiki diri, tiap jam 3 pagi berdoa memohon diberi kehidupan yang lebih layak dan berusaha menjalani hidup dengan benar di jalan Tuhan. Setelah jatuh bangun jualan sembako, tahun 1991 ia mulai berjualan nasi uduk di pinggir.
“Saya buka tenda jam 6 hingga 10 pagi. Mungkin karena masakannya enak, pelanggan makin banyak dari berbagai kalangan. Suatu hari, seorang pelanggan mencari material tertentu. Ia minta tolong dikenalkan jika ada pelanggan lain yang memiliki material tersebut. Singkat cerita, saya dipertemukan dengan seorang rekan dan mungkin memang sudah jalanNya, tahun 2008 saya mulai terjun di industri besi,” kenang Akim.
Sama sekali tak memiliki pengetahuan dibidang besi bekas (scrap), namun Akim merasa tertantang ketika ditugaskan untuk mengajukan penawaran ke perusahaan Jepang, Nippon Paint, yang terletak di Dawuan, Cikampek. Di sana banyak scrap yang bisa dijual kembali ke perusahaan peleburan.
“Ketika pertama kali bertemu dengan manajemen perusahaan, proposal penawaran yang saya ajukan dilempar karena tidak sesuai standard mereka. Saya perbaiki, ditolak lagi. Pantang menyerah, saya menghadap sampai 3 kali hingga akhirnya proyek scrap 3000 ton bernilai Milyaran Rupiah itu jatuh ke tangan saya, tepat tiga bulan setelah saya menjalani hidup dengan benar di jalan Tuhan,” cerita Akim yang datang ke perusahaan besar itu mengendarai motor yang biasa ia gunakan untuk berjualan nasi uduk.
Merubah Nasib.
Berhasil menggarap proyek pertama membuat atasannya terkesan dan memberinya hadiah mobil untuk menunjang pekerjaan. Selanjutnya ia diberi tugas baru untuk melakukan deal dengan PT. LMTM di Bandung yang termasuk 5 pabrik tekstil terbesar se-Asia. Pabrik tersebut terletak di dua wilayah yaitu Leuwi Gajah dan Lembang.
“Saat itu banyak sekali pihak yang telah mengajukan penawaran tapi tak pernah berhasil. Saya beranikan diri untuk maju. Puji Tuhan, negosiasi senilai 27 Milyar dari dua pabrik sekaligus berhasil saya dapatkan,” kisah Akim yang selalu mengawali segala sesuatu dengan doa.
Tahun 2011 ia mendirikan perusahaan sendiri, PT. Asri Jaya Mandiri. Dibantu kedua anaknya kini Akim mengelola 4 perusahaan, salah satunya PT.Berkat San Pilar. Namun Akim tak mengizinkan mereka mengerjakan hal-hal tertentu yang biasa ia lakukan sebab resikonya terlalu besar. Akim melakukan negosiasi dan transaksi ke berbagai wilayah tanah air hingga mancanegara. Melalui perjalanan darat, laut dan udara yang memakan waktu tempuh 10 jam masih ditekuni hingga saat ini untuk memastikan kualitas dan nilai scrap yang akan ia beli.
Mengingat kerasnya bisnis scrap, hampir 99% pemainnya adalah pria. Tak hanya lelah tapi juga ancaman kehilangan nyawapun harus dihadapi. Namun hal itu tak menyurutkan langkah Akim untuk mendobrak dominasi gender dan etnis tertentu menguasai pasar.
Akim bersyukur hingga saat ini empat perusahaannya dapat berdiri kokoh di tengah pandemi. Sebagai bentuk rasa syukur, setiap bulan ia selalu menyisihkan 10% pendapatannya untuk disumbangkan ke panti asuhan, membangun rumah ibadah lintas agama di beberapa kota, menyekolahkan anak-anak asuh, dan bakti sosial lainnya. Kepeduliannya yang tinggi pada sesama manusia kerap diprotes sang anak karena nominal yang disumbangkan cukup besar.
“Anak-anak boleh protes jika saya mengeluarkan uang untuk membeli barang konsumtif tapi saya tekankan, jangan melarang saya untuk berbagi. Saya hanya mengembalikan milik Tuhan, berapapun jumlahnya harus saya berikan sebab disitu ada hak orang lain. Itu kunci utama yang telah merubah seluruh hidup saya menjadi seperti sekarang,” tegas Akim.
Akim telah merasakan pahit manis dan kerasnya kehidupan. Satu hal yang ia yakini, dibalik hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya, pasti Tuhan memiliki rencana indah asalkan ia tetap berusaha di jalan yang benar dan takut padaNya.
Teks : Nana Hamid. Foto : Orie Buchorie. Busana : Sonny Muchlison