Teater Koma Hadirkan Naskah Terakhir N. Riantiarno dalam MATAHARI PAPUA: Saatnya Merdeka Dari Naga

Jakarta, Kirani – Sangat sulit untuk memisahkan nama Nano Riantiarno atau Nobertus  Riantiarno (Alm) dari Teater Koma. Selain sebagai pendiri, N. Riantiarno juga selalu berperan sebagai penulis dan sutradara dalam setiap pementasan Teater Koma. Ketika sosok ini pergi meninggalkan kita semua pada Januari 2023, sebagian orang mungkin berfikir, apakah Teater Koma masih akan sama? Jawabannya akan kita temukan dalam beberapa hari lagi.

Didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, Teater Koma akan menghadirkan produksi terbarunya bertajuk MATAHARI PAPUA. Lakon yang menjadi produksi ke-230 dari Teater Koma ini merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh  Nano Riantiarno. Menariknya pertunjukan yang akan diselenggarakan pada 7 – 9 Juni 2024  di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki ini, akan disutradarai langsung oleh Rangga Riantiarno, putra dari sang pendiri.

Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, bahkan sempat meneteskan air mata haru saat menyampaikan sambutannya pada konferensi pers, Rabu 29 Mei 2024, di Galeri Indonesia Kaya.

“MATAHARI PAPUA ini memiliki makna yang sangat mendalam, karena merupakan karya terakhir dari Bapak N. Riantiarno, sang pendiri Teater Koma. Selama hidupnya, beliau telah memberikan kontribusi luar biasa bagi dunia teater Indonesia dengan cerita-cerita yang menyentuh hati dan penuh makna. Karya terakhir ini adalah bentuk dedikasi dan cinta beliau yang tulus terhadap seni pertunjukan. Semoga warisan beliau terus menginspirasi dan menyemangati generasi penerus dalam merayakan dan menghargai kekayaan seni budaya kita,” ujar Renitasari.

Konferensi Pers Matahari Papua

Pertunjukan ini amat berkesan bagi Teater Koma, karena selain menjadi salah satu pertunjukan dari naskah terakhir N. Riantiarno, juga diselenggarakan berdekatan dengan hari lahir  N. Riantiarno, pada 6 Juni, dan menjadi pertunjukan pertama Teater Koma kembali di Graha Bhakti Budaya, setelah beberapa tahun terakhir harus berpindah tempat karena renovasi dan situasi pandemi.

“Kembalinya kami tampil di Graha Bhakti Budaya tentunya menjadi sebuah kesan tersendiri karena tempat ini memiliki sejarah dan menjadi saksi bagi beragam pertunjukan dari Teater Koma. Kini kami kembali meski tanpa kehadiran Mas Nano. Tapi sosok sang guru, bapak, saudara, sahabat itu akan selalu menyertai di hati kami. Wejangan dan ajarannya senantiasa hadir di tiap gerak kami. Karena kami tidak akan pernah berhenti bergerak, tidak pernah titik, selalu Koma,” ujar Ratna Riantiarno yang juga berperan sebagai produser.

Berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua, MATAHARI PAPUA mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar tumbuh dewasa, di bawah asuhan sang Mama, Yakomina, dan didikan Dukun Koreri. Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua.

Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga. Apakah Biwar mampu membunuh Naga?

Cuplikan Adegan Matahari Papua

Rangga Riantiarno mengungkapkan, “Naskah pertunjukan MATAHARI PAPUA pertama kali ditulis pada tahun 2014, sebagai naskah pendek untuk pertunjukan bertajuk Cahaya dari Papua di Galeri Indonesia Kaya. Ketika pandemi merebak dan mengharuskan kita semua berkegiatan di rumah, Pak Nano tetap produktif menulis berbagai karya, salah satunya adalah mengembangkan naskah Cahaya dari Papua dan diberi judul baru MATAHARI PAPUA. Naskah ini kemudian dikirim secara anonim dalam Rawayan Award, (Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta) 2022 dan ternyata terpilih sebagai salah satu pemenang. Naskah panjang terakhir ini menjadi bukti nyata dedikasi dan semangat tak kenal lelah Pak Nano dalam berkarya, bahkan di masa-masa sulit. Karyanya terus menyinari dunia teater Indonesia dan meninggalkan warisan yang akan selalu dikenang.”

Rangga mengaku banyak mengumpulkan ide-ide ayah selama persiapan. “Jadi, awal-awal kami melacak pemikiran Pak Nano. Pada 2020 dia pernah mengobrol sama beberapa penata. Ada penata musik, penata rias, penata kostum.”

 
“Rencananya November 2023 beliau ingin jadi sutradara, tetapi tak kesampaian. Akhirnya kami rapat lagi, kami coba melacak sampai mengobrol waktu itu Pak Nano bilangnya apa,” lanjut Rangga.

Konferensi Pers Matahari Papua

Rangga menjelaskan dirinya mengumpulkan ide dan visi sang ayah dari berbagai sumber. Ia lalu mendapatkan berbagai informasi dan pandangan baru terhadap naskah garapan sang ayah. Seperti ide naskah, motif setiap karakter, hingga naga yang menjadi villain dalam Matahari Papua. Rangga juga mendapat informasi bahwa visual naga versi naskah itu mengambil referensi dari Eropa.

Pentas kali ini menampilkan Tuti Hartati, Lutfi Ardiansyah, Joind Bayuwinanda, Netta Kusumah Dewi, Daisy Lantang, Bayu Dharmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Sri Qadariatin. Ada pula Zulfi Ramdoni, Angga Yasti, Rita Matumona, Dana Hassan, Adri Prasetyo, Andhini Puteri, Dodi Gustaman, Indrie Djati, Pandu Raka Pangestu, Hapsari Andira, Radhen Darwin, Edo Paha, dan masih banyak lagi aktor handal lainnya.

Teks: Setia Bekti | Foto: dok. Bakti Budaya Djarum Foundation