“Matahari Papua” Sebuah Refleksi Kemerdekaan ala Teater Koma

Jakarta, Kirani – Berbicara mengenai dunia teater, nama Teater Koma sudah tentu memberikan kesan tersendiri di hati para pecinta seni. Sepak terjang teater yang didirikan oleh Nano Riantiarno (alm) ini, seakan sudah menjadi acuan di kancah seni dan pementasan teater Indonesia.

Kepiawaian mereka kembali terbukti melalui pementasan terbarunya yang berjudul “Matahari Papua” yang digelar pada 7-9 Juni 2024, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Matahari Papua merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh sang pendiri. Ratna Riantiarno selaku produser pementasan mengungkapkan bahwa naskah karya suaminya itu sungguh istimewa. “Kami kembali ke Graha Bhakti Budaya, pementasan kedua kami di sini setelah gedung direnovasi. Naskah istimewa, naskah terakhir yang ditulis Nano Riantiarno,” ucap Ratna.

Sementara itu, Rangga Riantiarno selaku sutradara mengatakan kalau naskah ini awalnya adalah drama pendek yang pernah dipentaskan pada 2014. Dua tahun lalu, ayahnya selesai merampungkan Matahari Papua untuk dipentaskan menjadi naskah panjang.

Berlatarkan suatu tempat di wilayah Kamoro, Papua, lakon Matahari Papua mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar yang tumbuh dewasa di bawah asuhan sang Mama, Yakomina, dan didikan dari Dukun Koreri.

Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga Raksasa, yang meneror Tanah Papua. Biwar kemudian bercerita kepada Mamanya. Namun, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos, lalu melahirkan Biwar. Biwar bertekad balas dendam, membunuh sang Naga.


“Mungkin bisa dibilang ayah saya memang cukup visioner. Kadang-kadang kalau saya lihat naskahnya, tiba-tiba yang ditulis 20 tahun lalu, dan ketika dibicarakan buat 20 tahun kemudian masih relevan,” ujar Rangga Riantiarno di Graha Bhakti Budaya, TIM, pada Kamis (6/6/2024) malam.

Selain tokoh Biwar, Yokomina dan Nadiva, ada dua tokoh lain yang membuat lakon ini semakin berwarna, yaitu Sir Ilham Jambak sebagai buaya dan Sri Qadariatin sebagai burung hitam.

Di tengah perlawanan Biwar terhadap sang naga, kedua tokoh tersebut berhasil mencairkan suasana. Celetukan dan tingkah mereka berhasil memancing tawa penonton.

Meski terbilang cukup panjang, sekitar 2,5 jam, perpaduan nuansa komedi dan drama, serta akting hebat para pemain  dalam lakon Matahari Papua ini berhasil menghipnotis penonton hingga bertahan sampai akhir pementasan.

Tak hanya itu, penonton juga dimanjakan dengan detail kostum dan properti latar yang indah, mulai dari penggambaran suku di Papua serta properti latar yang dibuat mirip dengan aslinya. Bahkan, pergantian latar cerita dengan properti berbeda pun dilakukan dengan sangat mulus dan lancar.

Masih ada waktu untuk kamu yang tertarik menyaksikan pementasan ini. Segera dapatkan tiketnya melalui situs resmi www.teaterkoma.org atau kontak 021735940 dan 081133777709.

Teks: Setia Bekti  | Foto: dok. Bakti Budaya Djarum Foundation