Langgam Tenun Warna-warni di Tambak Lorok

Jakarta, Kirani – Prihatin pada lingkungan akibat pewarna sintetis, sekumpulan penggiat tenun melakukan kolaborasi pada acara Empu.

 

Berdasarkan riset yang dibuat oleh Rita Kant dan diterbitkan oleh Journal of Natural Science pada 2012, industri fashion menduduki ranking tertinggi (sesudah irigasi pertanian) yang menjadi penyebab pertama polusi air bersih.

Prihatin terhadap dampak lingkungan dari pewarna sintetis yang digunakan pada industri fashion, menggerakkan Leya Cattleya Soeratman dan Perempuan Pecinta Kain dan Serat Pewarna Alam Nusantara, bekerja sama dengan Collabox Creative Hub Semarang dan the Soeratman Foundation serta Gmedia berkolaborasi mengadakan acara bertajuk EMPU. Sebuah Festival Kain dan Serat Pewarna Alam yang diselenggarakan pada 4–9 Januari 2020 di Collabox Creative Hub, Jl. Indraprasta 74 Semarang.

 

Menampilkan kekayaan tenun Indonesia, festival yang digelar pada bulan Januari lalu ini mencuri perhatian awak media dan pecinta kain nusantara di Jawa Tengah. Ide EMPU sendiri diinspirasi dari obrolan penggagas acara Festival, Leya Cattleya Soeratman dengan Zubaidah Djohar, pendiri dan desainer fashion Empu Jalin Karsa, yang kemudian berlanjut dalam diskusi dengan Chandrakirana Priyosusilo, Pendiri Sekar Kawung, lalu diolah dan dikonfirmasi sebagai branding festival oleh Laras Zita Tedjokusumo, Art Director dari Collabox Creative Hub.

 

EMPU menjadi nafas festival yang bertujuan merayakan kegembiraan dan keberlanjutan kerja perempuan artisan dan penggiat kain tenun dan serat dengan pewarna alam.  Salah satu acara yang digelar dalam festival ini adalah fashion show, dan untuk fashion show yang digelar di Tambak Lorok ini, Empu menampilkan 14 outfit.

 

Keindahan tenun dengan pewarnaan alam

 

“Fashion show di Tambak Lorok sama dengan di KA Argo Mulia yang menampilkan 14 outfit. Namun itu bukan berarti berasal dari 14 jenis kain saja. Terdapat lebih dari 2 macam bahan untuk 1 koleksi. Ini karena kami ingin secara untuh memperkenalkan keberagaman kain nusantara,” papar Leya Cattleya Soeratman.

 

Menciptakan fashion yang berkelanjutan dan ramah lingkungan memang menjadi tujuan para penggiat kain tenun ini. Hal ini dituturkan oleh Chandra Kirana, aktivis lingkungan yang kini mengembangkan kain tenun pewarnaan alam.

 

Fashion yang berkelanjutan adalah ramah lingkungan di mana tidak  mengakibatkan kerusakan yaitu menjadi polutan di alam. Mulai dari pemilihan bahan sampai dengan proses pembuatan semua dilakukan melalui proses alam. Dari  pewarnaannya maupun pembuatan dari benang sampai dengan menjadi sepotong kain,” ungkap Chandra Kirana pemilik Sekar Kawung.

 

Festival yang dihadiri lebih dari enam ratus pengunjung diliput oleh media cetak dan elektronik lokal melibatkan penampilan 154 orang peragawati dan peragawan yang bukan dari kalangan model. Mereka mewakili kalangan masyarakat yang berasal dari Semarang, Salatiga, Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung, yang berpartisipasi untuk mendukung dan membangun pengalaman mengenakan karya sutera dan tenun berpewarna alam karya peserta Festival Empu.

 

Melestarikan kekayaan tenun Indonesia

 

Proses kain yang digunakan pada rancangan gaun-gaun yang diperagakan berasal dari serat benang budidaya ulat sutra pemakan daun singkong. Benang tersebut merupakan hasil pemintalan dari rumah kepompong, sementara  ulat akan tetap menjadi kupu-kupu dan menjalankan siklusnya.

 

“Indonesia ini sangat kaya, saatnya kembali pada kearifan lokal. Kain yang dihasilkan ini sangat eco friendly, berbeda dengan kain katun di mana sepotong kain menghabiskan ribuan liter air untuk membuatnya,” tutup Leya.

 

Teks : Galuh | Foto : Dok. Empu