Kisah Duka Srintil Sang Ronggeng Dukuh Paruk dalam #NontonTeaterDiRumahAja

Jakarta, Kirani – Mengingat kisah Srintil, tokoh sentral dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, memang selalu memancing haru. Begitu pun saat ArtSwara menggelar pementasan berjudul Srintil (Tembang Duka Seorang Ronggeng) pada 27-28 April 2019, di Teater Salihara, Jakarta. Kisah Srintil sang ronggeng yang bernasib malang ini diceritakan kembali oleh penulis naskah Sitok Srengenge sambil tetap mengadaptasi dari cerita aslinya.

Tayangan ulang mengenai kisah sang ronggeng ini dapat dinikmati oleh para penikmat seni melalui program #NontonTeaterDiRumahAja, pada tanggal 19 dan 20 September 2020 pukul 15.00 WIB di website www.indonesiakaya.com serta channel Youtube IndonesiaKaya.

Lakon ini berkisah tentang Srintil, seorang gadis berumur 11 tahun yang dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantiakn ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun lalu. Bagi pedukuhan kecil, miskin dan terpencil tersebut, ronggeng adalah sebuah perlambang. Tanpa kehadirannya, maka dukuh itu seperti kehilangan jati diri.

Tanpa menunggu lama, Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama sang ronggeng, dari masyarakat biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik di tahun 1965 membawa nasib buruk ke pedukuhan kecil itu. Ronggeng beserta para penabuh calung ditahan. Pedukuhan dibakar. Hanya karena kecantikannya, Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu.


Pengalaman pahit sebagai tahanan politik akhirnya membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki manapun. Ia ingin menjadi perempuan somahan. Dan ketika seorang lelaki bernama Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, makin lama makin membuncah. Tapi Srintil harus kembali terempas. Kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan.

“Saya tertarik mengangkat tentang ronggeng ini ke atas panggung karena pandangan publik tentang ronggeng ini cenderung hanya melihat sisi negatifnya, padahal kita bisa menggali kompleksitas perempuan yang terkandung di dalamnya. Melalui lakon ini, kami ingin menghadirkan sudut pandang berbeda dari sosok ronggeng,” papar Maera, eksekutif produser untuk pementasan ini.


“Lakon ini dipentaskan dengan konsep monolog musikal dengan menampilkan fase-fase penting dalam hidup Srintil dengan luka batin yang dialaminya. Tokoh Srintil menyoroti bagaimana perempuan masih sering terpinggirkan, padahal setiap perempuan harus dihormati, dan dihargai, apapun profesinya. Begitu juga dengan ronggeng yang mengajarkan tentang keterbukaan pikiran. Ia merupakan bentuk seni yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan konstruksi sosial dalam tradisi Banyumas,” ujar Iswadi Pratama yang berperan sebagai sutradara dalam lakon ini.


Pementasan yang juga diproduseri oleh Dian HP ini menampilkan penyanyi Trie Utami yang memainkan 7 karakter, yakni tokoh utama Srintil kecil, remaja dan tua, ke­mudian bapak Srintil (Santayib), ibu Srintil, kakek Srintil, dan pac­ar Srintil (Rasus). Penampilan apik Trie Utami ini didukung dengan koreografi yang dikonsep oleh Eko Supriyanto.

Musik yang ditata dan lirik yang ditulis oleh Ava Victoria dalam lakon ini menampilkan kemampuan menyanyi seorang Trie Utami. Penikmat seni dapat menyaksikan penampilan Trie Utami yang sangat membekas dengan iringan komposisi musik yang mengkolaborasikan instrumen tradisi dan orkestra.

“#NontonTeaterDiRumah kali ini menampilkan budaya ronggeng yang dikenal oleh masyarakat Banyumas, Jawa Tengah dan dikemas dalam sebuah pementasan apik yang memadukan seni peran, seni tari, dan seni suara yang diperankan satu orang. Lakon ini menampilkan kesenian Ronggeng yang dibawakan dengan baik oleh Trie Utami sebagai budaya daerah di nusantara. Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.


Teks Setia Bekti | Foto Dok. Indonesia Kaya