Jakarta, Kirani – Toksin botulinum merupakan neurotoksin yang digunakan sebagai obat untuk mengatasi berbagai kondisi medis dan kosmetik dengan cara memblokir sinyal saraf ke otot sehingga otot menjadi rileks.
Obat ini biasanya digunakan untuk mengobati kondisi seperti kedutan, migrain kronis, dan lainnya, sedangkan secara kosmetik, toksin botulinum sering digunakan untuk menghaluskan kerutan wajah secara sementara.
Untuk mengatasi bahaya distribusi toksin botulinum ilegal dan pentingnya penggunaan produk yang tersertifikasi resmi Daewoong Pharmaceutical bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta sejumlah pakar medis menggelar “Anti-Counterfeit Media Briefing 2025”.
Acara ini menegaskan pentingnya pengawasan distribusi, edukasi kepada tenaga kesehatan, serta transparansi rantai pasok agar pasien hanya menerima produk yang terbukti aman dan legal. Kerja sama lintas sektor ini dipandang sebagai langkah strategis untuk membangun ekosistem kesehatan yang disiplin terhadap regulasi dan berorientasi pada keselamatan publik.
Daewoong menekankan bahwa upaya pemberantasan produk palsu atau ilegal tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi antara regulator, tenaga kesehatan, dan industri untuk memastikan praktik distribusi berjalan sesuai standar keamanan.
Kampanye keaslian yang dijalankan perusahaan di Indonesia menjadi salah satu bentuk komitmen memastikan para praktisi medis dapat mengenali dan menggunakan produk yang benar-benar terverifikasi.
Sebagai pemegang standar produksi internasional, Daewoong menjelaskan pentingnya penerapan rantai dingin stabil 2–8°C dalam menjaga keberhasilan toksin botulinum sebagai zat biologis. Proses pengawasan ini melibatkan teknologi pemantauan suhu real-time, bahan isolasi khusus, rencana pengiriman berbasis udara, serta inspeksi data segera ketika produk tiba di Indonesia.
“Keselamatan pasien adalah inti dari kampanye ini. Kami ingin memastikan tenaga kesehatan dapat membedakan produk resmi yang valid dari produk ilegal yang berpotensi membahayakan,” jelas Mr. Baik In Hyun, Head of Indonesia Business Division, Daewoong Pharmaceutical Indonesia.
Tantangan lain muncul dari distribusi non-resmi yang memanfaatkan media sosial, marketplace tertutup, atau jalur akademik informal. Produk yang masuk tanpa izin edar kerap tidak melewati kontrol mutu, tidak terjamin suhunya, bahkan dapat berasal dari sumber tidak jelas. Hal ini membuka peluang terjadinya efek samping, kegagalan prosedur, hingga biaya perawatan ulang bagi pasien.
dr. Anesia Tania, SpDVE, FINSDV, menegaskan bahwa pemutusan cold chain mempunyai dampak langsung terhadap keamanan klinis. Produk dengan kualitas menurun dapat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan hingga hasil yang tidak optimal.

“Kami masih melihat kasus efek samping dan perawatan ulang akibat toksin ilegal yang tidak terjaga suhu penyimpanannya. Tenaga medis wajib memastikan produk yang digunakan terdaftar, tersertifikasi, dan aman,” ungkapnya.
Pelanggaran Hukum dan Risiko Serius bagi Tenaga Medis
BPOM RI mengingatkan bahwa distribusi, penyimpanan, atau penggunaan toksin botulinum tanpa izin edar merupakan pelanggaran berat terhadap regulasi nasional. Setiap obat yang beredar wajib memenuhi standar keamanan, mutu, dan khasiat sesuai ketentuan Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, serta regulasi BPOM tentang pengawasan produk farmasi.
“Peredaran obat ilegal adalah ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat. Pemerintah akan menindak tegas setiap bentuk distribusi gelap untuk melindungi pasien dan industri yang mematuhi aturan,” tegas Kepala BPOM RI – Prof. Dr. Taruna Ikrar, M. Biomed., MD., Ph.D.
BPOM menjelaskan bahwa pelanggaran ini dapat dikenai ancaman pidana hingga 12 tahun atau denda miliaran rupiah. Tenaga medis tidak dikecualikan dari sanksi, termasuk tanggung jawab pidana, administratif, maupun perdata apabila terbukti menggunakan toksin ilegal.
Selain itu, distribusi yang tidak disertai faktur pajak atau dokumentasi transaksi yang sah dapat menambah konsekuensi hukum di bidang perpajakan dan kepabeanan.
Dalam penjelasannya, pemerintah menekankan pentingnya pelacakan jalur distribusi, investigasi pasar, dan kolaborasi dengan aparat penegak hukum. Praktik ilegal dianggap bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak ekosistem medis, mengurangi kepercayaan publik, dan menghambat perkembangan industri yang taat regulasi.
Sebagai penutup, para narasumber sepakat bahwa perlindungan pasien adalah prioritas yang tidak dapat ditawar. Edukasi mengenai pentingnya produk bersertifikat, pemantauan ketat distribusi, serta profesionalisme tenaga kesehatan menjadi faktor kunci dalam mengatasi peredaran toksin ilegal.
Teks : Ratna Kamil | Foto : Daewoong Pharmaceutical Indonesia.

